UX Case Study : Menghindari kesalahan informasi pada aplikasi IKEA

Redesigning a little detail in IKEA App on the delivery cost

--

IKEA App, image from IKEA

Introduction

IKEA adalah konglomerat multinasional Swedia yang berbasis di Belanda yang mendesain dan menjual furnitur siap pakai, peralatan dapur, aksesori rumah, dan berbagai barang dan layanan rumah lainnya. Dimulai pada tahun 1943 oleh Ingvar Kamprad, IKEA telah menjadi pengecer furnitur terbesar di dunia sejak 2008. Merek yang digunakan oleh grup ini berasal dari akronim yang terdiri dari inisial pendiri, dan inisial Elmtaryd, pertanian keluarga tempat ia dilahirkan, dan desa terdekat Agunnaryd (kampung halamannya di Småland, Swedia selatan).

Overview

Studi kasus ini bertujuan supaya aplikasi dapat menghindari kesalahan kecil pada detail yang dapat menimbulkan kesalahan informasi dan membuat pengguna (user) berpotensi untuk membatalkan transaksi untuk membeli produk.

Current User-Flow untuk melihat “Biaya Pengantaran”

Sekilas pada awalnya dari jauh akan terlihat tidak terjadi apa-apa dalam aplikasi ini.

Tapi lihat pada tampilan yang sudah diberi “A” dan tanda “B” , terlihat pada tampilan tersebut bahwa “Biaya Pengantaran ” telah berubah dari awalnya Rp. 640.000 menjadi Rp. 169.000 pada barang dan jumlah barang yang sama.

Pada awal tampilan A adalah Rp. 640.000

Tapi, pada tampilan B menjadi Rp. 169.000 setelah ditambahkan Kodepos

Current Userflow

Seperti ini alur untuk mengecek “Delivery Cost” atau “Biaya Pengantaran”:

  1. User melihat barang

2. User melihat harga “Biaya Pengantaran” atau “Delivery Cost” sebesar Rp. Rp. 640.000

3. User mengecek “Biaya Pengantaran” atau “Delivery Cost”

4. User memasukkan kode pos “10230”

5. User melihat harga pada “Biaya Pengantaran” atau “Delivery Cost” menjadi sebesar Rp. 169.000

The Problems

Masalah nya adalah, tidak semua user terutama user baru mengetahui jika estimasi “Biaya Pengantaran” atau “Delivery Cost” dapat berubah sesuai dengan kodepos, dapat dilihat pada user-stories.

Data tersebut dapat menimbulkan informasi yang salah bagi user dan terlebih lagi dapat menimbulkan potensi bagi user untuk membatalkan pembelian karena memberikan data yang amat spesifik dengan text “Biaya pengantaran sebesar Rp. 640.000” yang dapat membuat user mengira bahwa “Biaya Pengantaran” tersebut sebesar Rp. 640.000, padahal harga aslinya terlihat seharga Rp. 169.000. Tentunya itu termasuk jumlah selisih yang sangat besar.

Cost before and after input Postcode

Disini juga terlihat walaupun user belum mengecek “Biaya Pengantaran” atau “Delivery Cost” sesuai kode pos, user tetap dapat mengorder barang tersebut.

The item still can added to Cart/Keranjang

User Stories

Disini Saya telah melakukan sebuah testing dengan mengamati 5 orang yang akan melakukan order barang pada aplikasi IKEA dengan tujuan mengetahui apakah menyadari bahwa estimasi biaya pengantaran itu dapat berubah, dengan beberapa indikator:

  1. Apa demografi Umum dan informasi Psikografis mereka?
  2. Bagaimana proses perencanaan mereka sebelum melakukan pembelian barang di IKEA?
  3. Bagaimana pengalaman mereka saat pertama kali merencanakan membeli barang namun melihat biaya pengantaran yang sangat mahal?
  4. Apakah Anda langsung percaya dengan biaya pengantaran yang Anda lihat pertama kali, atau lebih sering mengecek terlebih dahulu? Dan apa yang Anda lakukan bila Anda mengira bahwa biaya pengantarannya sangat mahal.

Wawasan utama dari pengamatan:

  1. Ketika saya bertanya kepada mereka tentang proses pembelian barang menurut mereka, semuanya memiliki kesamaan dalam prosesnya:
    a. Membuat rencana barang yang akan dibeli
    b. Melihat-lihat detail barang
    c. Melihat biaya pengantaran
    d. Melakukan pembayaran
  2. 4/5 orang lebih suka melihat-lihat dulu barang sejenis di platform lain. Mereka biasanya lebih suka mencari barang sejenis atau mencari rekomendasi dari orang lain. Sisanya sudah mempersiapkan dana sebelum membeli barang dengan harga mahal. Dengan cara ini, mereka memiliki target spesifik terhadap barang yang dibeli.
  3. 3/5 memilih untuk melihat barang lain. Hal ini terjadi ketika mereka melihat biaya pengantaran diatas Rp.300.000 dan mereka menganggap itu tidak terjangkau, karena mereka juga sering melihat perkiraan biaya pengantaran di platform lain yang lebih murah. Sisanya tetap membeli dengan beberapa pertimbangan.
  4. 3/5 orang tidak tahu bahwa biaya pengantaran yang tertera dapat berubah sesuai Kodepos. Mereka langsung percaya dengan jumlah itu ketika melihatnya untuk pertama kali. Sisanya mencoba melihat biaya pengantaran karena berpikir bahwa dia dapat mencari layanan pengantaran yang lebih murah.

Challenge and Solution

Dalam kasus ini tentunya user tetap dapat melihat “Harga Pengantaran” yang asli dengan memasukkan Kodepos atau melihat nya langsung pada keranjang.

Namun, alangkah lebih baiknya jika kita berusaha memperbaiki detail tersebut karena berpotensi membuat pengguna (terutama pengguna baru) salah mendapatkan informasi yang akhirnya berujung pada pengguna yang mengurungkan niat untuk membeli karena melihat “Harga Pengantaran” yang sangat besar.

Challenge

Dengan demikian, tantangannya disini adalah kita harus membuat seorang pengguna tidak menerima informasi yang salah tentang biaya pengantaran.

Solution for the problem

Untuk solusinya, dengan mengambil referensi detail dari beberapa sampel produk aplikasi e-commerce.

Solusi 1 : Memberikan teks “Cek biaya pengantaran”

Pada tampilan di sebelah kiri adalah desain saat ini yang masih menampilkan biaya pengantaran dari sistem, dan pada tampilan di sebelah kanan hanya menampilkan teks “Biaya Pengantaran” tanpa menampilkan jumlah nominal sama sekali supaya dapat mentrigger pengguna untuk mengecek “Biaya Pengantaran” dengan kodepos.

The difference between currently version and revamp version of design

Dan alurnya akan menjadi seperti ini, jadi pengguna akan terpancing untuk mengecek “Biaya Pengantaran” tanpa menerima informasi yang salah.

The Flow after revamp

Kesimpulan

IKEA adalah perusahaan yang sangat inovatif dalam menjual barang terutama furniture, IKEA juga mengikuti perkembangan zaman dengan mengembangkan aplikasi pembelian barang. Namun IKEA harus lebih memperhatikan detail-detail yang ada di dalam aplikasi nya supaya tidak membuat banyak pengguna frustasi atau beralih ke platform lain hanya karena menerima informasi yang salah.

Penutup

Berikut tadi adalah contoh UX Case Study pada aplikasi IKEA, terima kasih telah membaca!

--

--

No responses yet